Kamis, 17 Juli 2008

Asyiknya Menekuni Kerajinan


Kompas/Agus Susanto / Kompas Images
Pramuniaga butik Amara menunggu pembeli dalam pameran kerajinan di Jakarta City Center (JaCC), Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat (14/3).


Sabtu, 15 Maret 2008 | 01:12 WIB

Kios-kios kecil ditata rapi di Lantai 1 Jakarta City Center, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Berbagai barang kerajinan, seperti macam-macam batik, perhiasan, serta pernak-pernik hiasan rumah, seolah menggoda libido belanja siapa pun yang memandangnya.

Dunia kerajinan memang mempunyai potensi bisnis yang amat besar dan relatif terbebas dari hegemoni barang bermerek global. Tak hanya itu, rasa-rasanya, tak ada negeri lain yang barang kerajinannya begitu beragam seperti di Indonesia. Pemain penting di dunia ini adalah kaum perempuan.

Barang-barang itu disuguhkan di Jakarta City Center (JaCC), yang merupakan ajang pameran yang berlangsung satu bulan dan dibuka sejak 7 Maret lalu. Salah satu yang menarik adalah kerajinan batik. Jenis yang satu ini belakangan mulai populer di dunia fashion dengan napas yang berbeda. Maksudnya, batik tak lagi berwujud pakaian formal, tetapi bisa juga menjadi yang funky.

Sri Lestari (33), perajin dan pengusaha batik asal Mlati, Sleman, Yogyakarta, adalah salah satu perajin batik. Lulusan Fakultas Kedokteran Umum Universitas Gadjah Mada ini menekuni usahanya, khusus batik tulis, sejak sembilan tahun lalu.

”Batik itu sekarang banyak ragamnya dan memang harus mengadopsi desain-desain pakaian modern agar semakin nyaman dipakai,” kata Sri Lestari.

Kain-kain batik tulis yang dibuat Sri Lestari dan 35 pembatiknya dirupakan menjadi aneka kemeja untuk laki-laki maupun perempuan, rok, blazer, jaket, dan gaun model balon. Satu kemeja atau gaun dipatok minimal Rp 150.000-Rp 200.000. Sementara itu, kain batik tulis dijual dari harga Rp 150.000 hingga di atas Rp 1 juta per lembarnya.

Sri Lestari konsisten menggunakan pewarna alami. Saat ini sedikitnya 130 pewarna alami digunakan, antara lain, daun mangga muda untuk warna hijau, kulit bawang merah untuk warna krem, dan kunyit untuk warna kuning.

”Selain motif batik konvensional, seperti sido mukti atau wahyu tumurun, saya juga mengembangkan motif lain. Saya berusaha menuangkan pengalaman pribadi atau cerita dari teman-teman dalam motif batik. Membatik menjadi bagian dari menulis buku harian. Sungguh menyenangkan ketika motif tersebut ternyata juga diminati orang,” kata Sri Lestari.

Pelanggan batik produksinya juga datang dari kalangan perancang mode dan selebriti.

Perhiasan ”intim”

Kisah keberhasilan berkat menekuni seni kerajinan juga dialami Fitria Handiarto (53). Fitria berani melepas jabatan senior manajer di sebuah perusahaan asing demi menggeluti bisnis pembuatan perhiasan unik berbahan dasar perak, mutiara, dan batu semi berharga.

Salah satu keunikan karya Fitria, berani menampilkan model perhiasan yang berbeda dengan yang lain. Pelanggan tetapnya adalah istri-istri ekspatriat. Fitria mengusung motif asimetris, sisi kanan dan kiri perhiasan buatannya tidak pernah sama. Ide-ide ”gila” terkumpul saat ia melanglang buana ke banyak negara, seperti Afrika, India, dan Eropa, serta pelosok Tanah Air.

Model perhiasan terbaru yang banyak diburu para pelanggannya adalah ”mamuli”, benda dari logam (bisa emas, perak, atau tembaga) berbentuk vagina. Mamuli adalah mas kawin yang diserahkan pihak perempuan kepada mempelai laki-laki di Nusa Tenggara Timur.

”Mamuli bisa jadi liontin dan anting. Orang-orang Amerika Serikat menyukainya, terutama karena mereka ternyata tahu latar belakang budaya benda tersebut,” kata Fitria.

Tas dan sepatu

Setelah hampir sembilan tahun menekuni bisnis kerajinan tas, Igna Jose Najoan (39) melihat bisnis tas sangat menjanjikan. Kecenderungan perempuan untuk memiliki tas lebih dari satu membuat perajin-perajin seperti dirinya bisa berkembang. ”Sekarang orang beli tas sudah seperti beli baju. Tidak cukup satu. Setiap kali ada model baru, mereka beli,” kata Igna.

Igna membuat beragam tas. Dari yang berbahan dasar kulit, kanvas, suede, hingga satin. Motifnya beragam. Ada yang memakai aplikasi benang, kain, dan batu. Ada yang memakai foto yang dicetak di atas tas dan juga tas kulit dengan perpaduan beberapa warna.

Melihat banyak peluang, Igna pun total mendalami bisnis tas dan meninggalkan pekerjaannya di sebuah perusahaan ritel. Beberapa waktu lalu dia mendapatkan pesanan 20 tas dan enam dompet yang harus diselesaikan dalam dua minggu. ”Sampai tidak tidur. Badan sekarang rasanya sakit semua. Kalau masih bekerja di kantor, tentu tidak mungkin bisa mengerjakan pesanan seperti ini,” kata Igna.

Mengenai harga, Igna menyatakan harga tas buatannya berkisar Rp 300.000-hingga lebih dari Rp 1 juta. Soal mahal atau tidak, Igna mengaku sangat subyektif. Ada yang bilang tasnya mahal, tetapi ada juga yang mengatakan harga itu pantas. ”Selain itu, kita juga harus melihat tempat. Ada tas saya yang di Plaza Indonesia laku, tetapi di tempat yang lain tidak,” katanya.

Sepatu ABG

Berjualan produk fashion, apalagi di Jakarta yang pasarnya di bawah hegemoni barang bermerek global, tentunya tidak mudah. Keunikan dan orisinalitas sering kali menjadi tuntutan. Ini pula yang disadari tiga sekawan dari Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, Kristina Budiutami (25), Diah Dani (25), dan Kurniansyah (25).

Mereka berkreasi membuat sepatu-sepatu yang dilukis tangan. Sebelum terjun di bisnis kerajinan, mereka bekerja kantoran, yang pada akhirnya mereka rasakan membosankan.

”Akhirnya, karena pada dasarnya kita senang bikin-bikin kerajinan, saya bersama teman-teman bikin usaha ini,” imbuh Kristina, lulusan Jurusan Seni Lukis ITB.

Mereka sendiri awalnya berbisnis tak mengira akhirnya bisa memiliki butik sendiri, yakni Positively Pink, di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Dahulu, mereka berjualan dengan mobil ambulan berlambang tanda salib berwarna pink yang mangkal di berbagai SMA di Jakarta.

”Nia (Kurniansyah) itu ibunya, kan, bidan. Kami pinjam mobil ambulan yang lagi nganggur, he-he-he,” cetus Tina.

Menyasar anak ABG memang cukup strategis. Apalagi, zaman sekarang, seperti di Jakarta, anak ABG sangat fashionable. Benar saja, sejak mangkal di sekolah-sekolah, pesanan sepatu lukis mereka heboh.

Sejauh ini, sebagian besar jenis sepatu yang digunakan adalah sepatu model slip-on, berbahan kanvas dengan warna dasar putih. Sepatu-sepatu itu sebelum dilukis ditorehkan sketsa dasar dahulu. Motifnya mulai dari karakter kartun yang lucu-lucu sampai motif grafis.

Sepatu-sepatu lukis itu dibanderol dengan harga Rp 150.000 - Rp 225.000 per pasang. Setiap sepatu dikemas dalam tas jaring mungil beraneka warna, bukan kemasan kotak karton.

Mereka melukis sepatu dengan alasan dalam dunia fashion remaja sepatu lukis belum pasaran, sedangkan baju yang dilukis sudah banyak yang memproduksi. ”Kami senang menjalani usaha ini karena setengah hobi. Jadi happy,” kata Tina.

Ya, pekerjaan yang dijalani seperti hobi tentunya menyenangkan. Seperti bisnis kerajinan ini, misalnya. (Neli Triana/M Clara Wresti/Sarie Febriane)

link

Tidak ada komentar: